Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan
alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya
rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang
tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan.
Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur
Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan
jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
Kerangka
Kerangka
rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki
dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral.
Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
1. susuk dibuat dari kayu Ulin. 2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih. 3. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm. 4. Watun Barasuk dari balokan Ulin. 5. Turus Tawing dari kayu Damar. 6. Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin. 7. Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr> 8. Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih. 9. Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih. 10. Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih. 11. Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih. 12. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
Lantai
Di
samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai
Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di
Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat
pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat
melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk
lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari
papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari
papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang
juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya
dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang
serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian
Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, terkadang
dindingnya menggunakan Palupuh.
Atap
Atap bangunan
biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena
itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat
dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan
rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk
ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada
bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga.
Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif
yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif
binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan
naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat
ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul
belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar.
Rumah Adat Kalimantan Timur
KALIMANTAN TIMUR -
Arsitektur Tradisional
|
Rumah Adat Kalimantan Timur Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah
adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena
bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45ยบ.
Bangunan
Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika
daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian
memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah
dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596 – 1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun
perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat
tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang
ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan
ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan
tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga
kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah
Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di
lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura
dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan
lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang
disebut dengan Palimasanemas dan perak. sebagai tempat penyimpanan harta
kekayaan kesultanan berupa
Balai Laki adalah tempat tinggal para
menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh,
Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para
Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih
dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku,
Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya,
semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di
sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk
bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah
ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan
cirikhas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan
rumah penduduk daerah Banjar.
Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
Kemudian
bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah
Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk
rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur mempunyai ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di
daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan
rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Di Kalimantan Tengah bentuk
rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu
di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai.
Menyebarnya bentuk
rumah adat Banjar ke daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya
Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan
Banjar ketika diperintah oleh Sultan Musta’inbillah yang memerintah
sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan
Inayatullah.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke
daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar
yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya
dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di
tempat asalmereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat
Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di
daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
Jenis-jenis Rumah Adat Banjar
* Bubungan Tinggi Rumah Bubungan Tinggi * Gajah Baliku * Gajah Manyusu * Balai Laki * Balai Bini * Palimbangan * Palimasan (Rumah Gajah) * Anjung Surung (Rumah Cacak Burung) * Tadah Alas * Lanting * Joglo Gudang * Bangun Gudang
Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan
tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah
Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak
dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak
pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah
ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal
tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang
membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan
bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun
pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan
bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera jaman.
Tidak
jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru
tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah
mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah
Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah
adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan
jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih
dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya
seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut (Kota Banjarmasin),
Desa Teluk Selong, Desa Dalam Pagar (Martapura), Desa Tibung, Desa
Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing
rumah adat tersebut sudah dalam kondisi rusak sama sekali. yang amat
memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah
Pemerintah
sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut.
Namun tidak jarang anggotakeluarga pemilik rumah menolak subsidi
tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi.
Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun
keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai
dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh
dengan berbagai ornamen menarik. Filsafat Rumah Adat Banjar
Pemisahan
jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang
bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta
yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.
Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.
Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah.
Di
rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia
atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
|
|
0 komentar:
Posting Komentar